Sebelum kita — Homo sapiens — jadi satu-satunya manusia di dunia ini, kita pernah punya "sepupu".
Misalnya, Homo erectus, salah satu manusia purba tertua yang fisiknya udah mirip dengan manusia modern.🧍🏻Atau, Homo neanderthalensis yang pernah hidup berdampingan sama manusia modern sebelum akhirnya punah. 🥲
Manusia purba tertua — Sahelanthropus tchadensis — ternyata udah ada sejak… 7 juta tahun lalu! 🤯
Kita, keturunan mereka, berusaha ngegali informasi sebanyak-banyaknya tentang kehidupan mereka. 🔍 Sekaligus, buat mengetahui asal-usul keluarga kita. 🧐
Daaan tahun 2003, ditemukan satu spesies manusia purba yang bikin para peneliti ngerutin jidat. 😵 Namanya, Homo floresiensis. Soalnya, badan mereka beda sama manusia purba lain.
Mereka kayak The Hobbit! 💥
Iya, sama kayak The Hobbit, badan Homo floresiensis ini… kecil. 🤏 Tapi, ya, ukurannya doang yang mirip sama mereka. Ciri-ciri fisiknya jelas beda.
Emang, kayak gimana bentuknya? 🤔
Kayak gimana bentuk Homo floresiensis?
Jadi, Homo floresiensis ini punya badan yang pendek. Mungkin cuma sekitar 105-110 cm, setara sama tinggi anak laki-laki umur 6 tahun. Sedangkan beratnya cuma sekitar 25 kg. Ringan banget! 😳
Ukuran kakinya juga pendek, tapi punya telapak kaki yang besar dan rata. 🦶 Homo floresiensis juga punya ukuran tengkorak yang kecil, saking kecilnya sampai dikira itu tengkorak anak-anak. Terus, bagian alis mereka menonjol — ciri khas manusia purba.
Mereka juga punya bentuk badan yang… nggak biasa. Pinggulnya lebar, tulang selangkanya pendek, dan sendi bahu yang posisinya cukup maju ke depan.
Gak cuma itu, peneliti nemuin kalau ukuran otaknya 🧠 cuma sekitar 420 cc, jauh lebih kecil kalau dibandingin dengan Homo sapiens yang punya ukuran otak 🧠 sekitar 1350 cc).
Tapi emangnya, gimana caranya para peneliti bisa tahu ciri-ciri Homo floresiensis sampe serinci ini? 🧐
Jawabannya: dari fosil. Fosil Homo floresiensis itu pertama kali ditemuin di Gua Liang Bua di Flores pada tahun 2003. 📅
Usia tulang Homo floresiensis diperkirakan antara 100.000 sampai 60.000 tahun. Dan bersamaan sama penemuan tulang Homo floresiensis, ditemuin juga alat-alat batu 🪨 yang dipakai sama mereka. Perkiraan usianya berada di antara 190.000 sampai 50.000 tahun.
Dari berbagai penelitian yang udah dilakuin, bisa dipastiin kalau "Hobbit" dari Flores ini punah sekitar 50.000 tahun lalu, tepat sebelum Homo sapiens nyampe di daerah itu. 🤔
Bisa dibilang kalau mereka adalah salah satu jenis manusia purba terakhir yang punah. 💀
Menariknya, kalo dilihat dari ciri-ciri fisik tadi, Homo floresiensis ini mirip dengan Australopithecus afarensis, manusia purba tertua yang hidup 3 juta tahun lalu. Padahal, usia tulangnya nunjukin kalau mereka hidup nggak jauh sebelum manusia modern ada. 🤯
Apakah kalian bingung? 😕 Ya, jangankan kalian — para peneliti juga bingung sama temuan ini. 😅
Akhirnya, malah banyak pertanyaan dan perdebatan di kalangan para ahli.
Apakah Homo floresiensis ini salah satu dari kita? Atau apakah dia adalah jenis spesies lain? Atau mungkin dia ini keturunan dari spesies manusia purba yang nggak pernah kita tahu keberadaannya? 🤔
Tapi ternyata, kita bisa coba cari tahu kebenarannya dengan cara nelusurin cara peneliti nemuin keberadaan manusia purba istimewa yang satu ini. 👇🏼
Gimana peneliti bisa nemuin Homo floresiensis?
Ceritanya berawal dari tahun 1950-1960-an. Waktu itu, ada seorang pendeta dari 🇳🇱 Belanda, Theodor Verhoeven yang tinggal di pulau Flores. Selain seorang pendeta, dia juga lulusan arkeologi dan emang punya ketertarikan di bidang itu. 🤓
Selama tinggal di Flores, dia nemuin lusinan situs arkeologi, termasuk Gua Liang Bua yang sekarang terkenal karena penemuan "Hobbit" ini.
Dialah orang pertama yang melaporkan dan mempublikasi 📑 penemuan soal alat-alat batu yang berhubungan sama sisa-sisa 🐘 stegodon — gajah purba — di Flores, di beberapa tempat di daerah yang namanya Cekungan Soa.
Verhoeven bahkan berargumen kalau yang kemungkinan bikin peralatan batu itu adalah Homo erectus dari Jawa. Dan kemungkinan, mereka sampai di pulau itu sekitar 750.000 tahun lalu.
Tapi, pada saat itu, para ilmuwan yang neliti bidang ini — dipanggilnya paleoantropolog — nggak terlalu merhatiin omongannya Verhoeven. 😟 Penemuan Verhoeven ini baru dilirik puluhan tahun setelah itu.
Tahun 1990-an, tim peneliti Indonesia-Belanda nemuin bukti lagi, berupa alat batu dan fosil di Cekungan Soa. Mereka bahkan melangkah lebih jauh dengan mengidentifikasi umur alat batu dan fosil itu. Karena penemuan ini, barulah mereka setuju sama pernyataan Verhoeven. 🎯
Tim ini bahkan nemuin kalau alat batu itu diperkirakan berumur 700.000 tahun. Akhirnya, pada akhir tahun 1990-an, mulai banyak ahli yang percaya kalau ada kemungkinan jenis manusia lain yang udah nyampe duluan di Flores sebelum Homo sapiens
Semua penggalian awal di Liang Bua ini bisa dibilang cuma mengeksplorasi endapan yang muncul dalam tiga meter pertama dari dasar gua.
Peneliti nemuin kalau endapan ini mengandung bukti arkeologis dan fauna tentang penggunaan gua oleh manusia modern, dan ada juga sisa-sisa kerangka manusia modern yang berasal dari 10.000 tahun lalu.
Pada 2001, tim peneliti 🇮🇩🇦🇺 Indonesia-Australia mulai penggalian di Gua Liang Bua—Gua yang sama yang diteliti oleh Verhoeven.
Awalnya, penggalian itu dilakuin buat ngelanjutin penemuan sebelumnya dan mastiin apakah benar kalau manusia purba atau modern sudah ngegunain Liang Bua sebagai tempat tinggal atau tempat berlindung sebelum 10.000 tahun lalu. Dua tahun kemudian, mereka nemuin jawabannya. 🔍
Di hari Sabtu, 6 September 2003, kelompok arkeolog asal Indonesia lagi ngeliat-liat tempat penggalian di Liang Bua.🚶🏻♂️ Mereka ngegali tanah seluas 2x2 meter. ⛏
Setelah ngegali sekitar 6 meter ke bawah, sebuah tengkorak menunjukkan diri. 💀
Setelah diteliti sekilas, ada peneliti yang berpendapat kalau tengkorak itu punya seorang anak kecil karena dilihat dari ukurannya yang kecil. 👧🏻
Tapi, ternyata, setelah diteliti lebih jauh, para peneliti ini sadar kalau sebenarnya ini bukan tengkorak anak-anak. ❌ Ukuran otaknya emang kecil, tapiii setelah dilihat lagi, ternyata semua giginya itu gigi permanen. 🦷
Ya, ternyata mereka nemuin tengkorak milik orang dewasa. 👩🏻 Temuan ini dikenal dengan LB1 (Liang Bua 1).
Setelah nemuin LB1, penggalian di Liang Bua masih terus dilakukin. Selain nemuin beberapa tulang milik LB1 lain, mereka juga nemu tulang punya Homo floresiensis lainnya, dan bahkan alat-alat yang mereka pake sehari-hari.
Nah, kita bisa mengira-ngira gimana mereka hidup dari temuan-temuan ini.
Karena ditemuin bareng dengan alat-alat batu, Homo floresiensis kemungkinan besar pakai alat itu dalam kehidupan sehari-harinya.
Terus, kalau dilihat dari gigi dan bentuk rahangnya, kemungkinan mereka makan tanaman dan daging mentah. 🌿🥩 Hal ini bisa dilihat dari giginya yang aus—nunjukin kalau mereka makan makanan yang keras dan berserat yang butuh banyak ngunyah! 🦷
Selain alat-alat batu, ditemuin juga arang dan tulang gajah stegodon 🦴 di Gua Liang Bua. Gajah Stegodon itu gajah yang juga berukuran mini, tingginya cuma setengah tinggi gajah sekarang~
Awalnya, penemuan ini dianggap sebagai bukti kalau Homo floresiensis udah bisa pakai api 🔥 dan berburu stegodon untuk dimakan.
Setelah diteliti lagi, peneliti sekarang malah ngaitin penemuan ini dengan kedatangan Homo sapiens 🚶 di Liang Bua. Ada yang mikir kalau peralatan itu punya Homo sapiens karena jarak hidup mereka dengan Homo floresiensis gak begitu jauh.
Ada kemungkinan, mereka pernah ketemu!
Terus, ternyata di Flores ada legenda tentang manusia kerdil yang dikenal secara turun-temurun di Flores. 📜 Nama manusia kerdil itu adalah Ebu Gogo.
Konon katanya, wujud fisik Ebu Gogo ini mirip dengan Homo floresiensis — tingginya cuma satu meter, udah berdiri tegak, wajah lebar, dan juga hidung yang lebar dan rata. 🤯
Adanya legenda ini bikin peneliti sempet ngira kalau Ebu Gogo adalah nama lokalnya Homo floresiensis. 🤔 Mereka jadi makin yakin kalau manusia modern dan Homo floresiensis pernah hidup di masa yang sama. ⏲️
Tapiii, ternyata ada beberapa hal yang nunjukin kalau Ebu Gogo cuma sekedar legenda…
Legenda Ebu Gogo lebih dikenal sama rakyat di Nagekeo yang tinggal lebih dari 100 kilometer dari Liang Bua. Daaan, menurut cerita, Ebu Gogo punah waktu 🇳🇱 Belanda dan 🇵🇹 Portugis dateng ke Indonesia. Sedangkan, Homo floresiensis udah punah dari ribuan tahun lalu!
Oke, mungkin Ebu Gogo dan Homo floresiensis emang gak ada hubungan apa-apa. 😬 Mungkin para "Hobbit" ini emang gak pernah ketemu sama nenek moyang kita. Tapi, masih ada misteri lain: gimana ceritanya Homo floresiensis ini bisa berukuran kecil dan beda dari manusia purba lainnya? 🤨
Kenapa Homo floresiensis berukuran kecil?
Awalnya, peneliti ngira kalau Homo floresiensis ini adalah Homo sapiens yang “cacat” dengan masalah pertumbuhan dan hormonal yang gak normal. 🤒
Tapi, sebenernya, bukan itu jawabannya! ❌
Jadi ada peneliti yang pertimbangin kemungkinan kalau nenek moyang Homo floresiensis ini emang udah berukuran kecil dari sananya, waktu mereka pertama kali sampe di pulau Flores. Tapi, ada juga yang berpendapat Homo floresiensis bertubuh kecil karena mereka hidup di pulau terpencil dalam jangka waktu yang lama. 🏝
Tunggu-tunggu, emang apa hubungannya hidup di pulau yang terisolasi dengan ukuran badan yang kecil? 🤔
Oke, terisolasi di sebuah pulau bikin sumber daya yang ada tuh itu-itu aja. 🌽 Terbatas! Daaan ini bikin hewan yang berukuran besar jadi nyusut. Contohnya, Stegodon mini 🐘 yang ditemuin bersamaan dengan Homo floresiensis di Liang Bua tadi.
Ternyata, jenis Stegodon itu adalah versi kecil dari Stegodon lain yang udah lebih tua! 😮
Nah, kejadian menyusutnya suatu makhluk hidup karena hidup di pulau yang terpencil tuh dikenal dengan Aturan Pulau 🏝 atau The Island Rule.
Jadi, spesies yang ukurannya besar cenderung berubah jadi ukuran yang lebih kecil waktu mereka tinggal di pulau terpencil, sedangkan spesies yang ukurannya kecil malah jadi lebih besar.
Ini karena kebutuhan spesies yang ukurannya besar perlu lebih banyak makanan, yang artinya, mereka sebagai predator butuh mangsa. Kalau pulaunya terisolasi dan sumber dayanya itu-itu aja, satu-satunya cara buat mereka bertahan adalah ngecilin ukuran badannya.
Sedangkan buat spesies kecil, hal itu nggak akan jadi masalah karena mereka nggak ketemu predator baru, bisa makan, dan eksplor sumber daya sepuasnya.
Apalagi, Flores ada di wilayah yang dikenal sebagai Wallacea, atau Indonesia bagian tengah.
Di area ini, susah bagi para makhluk hidup buat ke mana-mana, soalnya dikelilingin sama arus yang kuat. 🌊
Misteri yang sama juga muncul di pulau terpencil lainnya—pulau Luzon, Filipina. Gilanya lagi, di pulau ini peneliti juga nemuin "sepupu" Homo floresiensis, namanya Homo luzonensis! 🤯
Manusia purba yang ditemuin di Filipina ini juga punya ciri-ciri yang mirip sama Homo floresiensis, dan ini bikin peneliti makin pusing tujuh keliling… 😭😵
Hasil temuan ini ngasih para peneliti sederet pertanyaan baru:
1️. Apa yang bikin Homo luzonensis dan Homo floresiensis ini beda?
2. Apakah alasan mereka punya badan mini itu sama?
3. Apakah Homo luzonensis berinteraksi atau bahkan kawing silang sama manusia purba lainnya di masa itu?
Ya, masih terlalu banyak misteri yang nggak kita tahu. 😮💨
Termasuk, salah satu misteri yang paling besar: kalo emang Homo floresiensis (dan juga Homo luzonensis) tinggal di pulau yang “terisolasi”, gimana mereka bisa punah?
Misteri kepunahan Homo floresiensis
Jejak Homo floresiensis terakhir yang ditemuin berasal dari 50 ribu tahun lalu. Bukti paling awal dari Homo sapiens tinggal di Flores muncul gak lama setelah itu, sekitar 46 ribu tahun lalu.
Jadi, bisa dibilang kalau Homo floresiensis adalah salah satu dari beberapa spesies manusia purba yang punah pada masa manusia modern mulai berkembang di seluruh dunia.
Sejauh ini, peneliti belum tahu pasti penyebab kepunahan mereka. 😞 Tapi, ada beberapa kemungkinan:
- Kurang pasokan makanan 🥕
- Erupsi gunung berapi 🌋
- Atau mungkin disingkirin sama Homo sapiens 🤯
Apakah bener nenek moyang kita yang jadi alasan para ‘Hobbit’ ini punah?!
Nyatanya, ada sebuah pola di mana setiap Homo sapiens nempatin sebuah pulau, manusia purba di pulau itu akan punah. 🤯
Misalnya, Homo neanderthalensis yang udah nempatin Eropa dan Asia selama lebih dari 350 ribu tahun tiba-tiba punah sekitar 40 ribu tahun lalu. Kepunahannya itu bertepatan sama kedatangan Homo sapiens ke benua itu.
Apakah ini kebetulan, atau ada hubungannya?! 🤠🔍
Oke, sampai sini kita udah tau banyak soal Homo floresiensis dan misteri yang masih belom kejawab-kejawab banget—kayak kenapa ‘Hobbit’ ini di Flores , kenapa mereka bisa punah, benarkah karena Homo sapiens, atau karena alasan lain, dan maaasih buanyak kemungkinan dan perkiraan lain. 🤔🧐
Tapi, satu hal yang pasti, penemuan Homo floresiensis ngubah pola pikir kita tentang evolusi. 🦧
Proses evolusi nggak seperti garis lurus
Evolusi sering digambarin dengan proses kayak garis lurus—dari bentuk primitif ke bentuk yang lebih modern. Padahal, evolusi bisa digambarin dengan bentuk bercabang, kayak pohon.
Biar makin ngerti sama proses evolusi, ayo coba kita bayangin… burung. 🐤
Bayangin ada satu spesies burung yang tinggal di suatu di kepulauan di tengah laut, yang pulaunya kecil-kecil dan berdekatan satu sama lain. 🏝
Nah, meskipun satu spesies, burung ini beda sedikit bentuk paruhnya. Sama kayak manusia yang juga punya perbedaan fisik satu sama lain~🧍🏻
Terus, seiring waktu, mereka nyebar ke berbagai pulau-pulau kecil, yang kondisi lingkungan dan sumber makanannya beda-beda.
Di salah satu pulau, makanan yang paling banyak tersedia itu serangga kecil. 🦟 Burung yang paruhnya lebih cocok nangkep serangga bakal lebih mudah beradaptasi dan dapet makanan. Burung yang paruhnya nggak cocok, mungkin bakal lebih sulit bersaing. Atau bahkan mati. 💀
Di pulau lain, biji-bijian. 🌱 Sama kayak sebelumnya, burung yang paruhnya lebih cocok buat mecah biji bakal lebih mudah beradaptasi. ✅
Lama-lama, burung yang lebih bisa beradaptasi bisa lebih bertahan hidup dan punya keturunan yang bentuk paruhnya juga sama. Dan nggak cuma dari bentuk paruh, tapi juga bagian tubuh yang lain! 🤯
Terus, akhirnya, perbedaannya jadi makin keliatan. 👀
Dan sebenernya, ini kisah yang beneran terjadi pada burung kutilang di Kepulauan Galapagos. 🏝️
Jadi intinya, satu spesies bisa ngehasilin banyak keturunan yang berbeda dari waktu ke waktu. 🕰
Masing-masing keturunan bisa berevolusi secara mandiri, dan juga beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang beda-beda. 🌳
Terus, kita juga mesti inget kalo suatu makhluk hidup itu nggak bakal langsung ngelahirin makhluk hidup baru. Kayak burung kutilang tadi, keturunannya itu nggak langsung jadi spesies baru. 🙅♀️
Ini ibarat kita tahu kalau ada warna 🔵 biru dan 🟢 hijau. Tapi kalo ditelusurin spektrum gelombangnya, gak ada juga satu titik di mana warna biru tiba-tiba berubah jadi warna hijau. Perubahannya itu bertahap, dan baru keliatan kalau kita zoom-out setelah prosesnya berjalan panjang.
Oke oke, balik lagi ke burung paruh tadi. Setelah keturunannya pindah rumah dan lama-lama makin berubah, barulah dia jadi spesies baru. Contoh lainnya, suatu primata tentunya nggak langsung punya anak manusia. 🐒
Dan ya, waktu yang dibutuhin buat berubah ini nggak cuma belasan atau puluhan tahun aja. Tapi, ribuan sampe jutaan tahun! ⏳
Terus kira-kira, apakah manusia masih berevolusi sampai sekarang? 🤔💭
Jawabannya, ya… iya! Makhluk hidup, termasuk manusia, akan terus berevolusi selama kita masih menghasilkan keturunan. 🤯
Mungkin kita nggak sadar karena kayak yang tadi udah dibilang, proses evolusi itu lama banget. Tapi, ternyata ada contoh evolusi di tubuh manusia — intoleransi laktosa pada orang dewasa. 👀
Bayi yang baru lahir bisa minum susu 🍼 tanpa sakit perut, karena punya zat yang bikin tubuhnya bisa nyerna susu. Tepatnya, sejenis gula di dalam susu yang namanya laktosa.
Nah, biasanya, zat itu ilang waktu kita beranjak dewasa dan bikin bisa sakit perut kalau minum susu sapi. 🐄
Tapi, manusia mulai bisa toleransi laktosa sejak 5.000 sampai 10.000 tahun lalu. Tepatnya waktu peternakan susu mulai berkembang. 🥛
Nah, sekarang kan udah banyak susu dari tanaman, kayak susu oat, susu almond, atau susu kedelai. Apakah manusia akan kembali punya intoleransi laktosa? Ya… nggak ada yang tau. 🤷🏻♂️ Coba kita lihat 10.000 tahun lagi ya. 😆
Jadi… iya, kalau dipikir-pikir, tubuh manusia itu kayak spec HP yang selalu upgrade. 📱
Oke oke, sekarang kita udah tahu kalo penemuan Homo floresiensis ini bikin para ilmuwan makin yakin kalo evolusi nggak berbentuk kayak garis lurus.
Sekarang, waktunya kita berandai-andai. Gimana kalau seandainya, manusia-manusia purba kayak Homo floresiensis masiih terus berevolusi dan nggak punah? 🤔
Apa jadinya kalau mereka hidup berdampingan sama kita
Kalau kita hidup berdampingan sama manusia purba lain…
…Yang jelas, kita nggak boleh sombong karena jadi satu-satunya makhluk hidup paling cerdas. 😬
Terus, kalau seluruh manusia purba yang pernah nginjekin kaki di Indonesia nggak punah, masyarakat Indonesia bukan cuma terdiri dari berbagai suku. Tapi, berbagai spesies!
Soalnya, Indonesia itu banyak ditemuin fosil manusia purba. Waduh, kenapa bisa kayak gitu? Apakah Indonesia 🇮🇩 pernah menjadi pusat peradaban? 👑
Sebenernya, alasannya lebih ke faktor lingkungan 🌴. Pertama, Indonesia punya iklim tropis dan sumber daya alam yang banyak. 🌅☀ Hidup di Indonesia bakal sesusah hidup di negara empat musim. Dan di negara kita, tanaman, buah, sayur, rempah-rempahnya banyak banget. 🥔🍅🍊
Nggak heran kalau Indonesia jadi tempat yang sempurna buat hewan dan manusia hidup. Bahkan, sampe narik perhatian para penjajah buat nyolong rempah-rempah kita. 😬
Selain itu, Indonesia ada di kawasan Cincin Api, atau bahasa kerennya Ring of Fire. Ini bikin ada banyak aktivitas vulkanik di Indonesia. Nah, abu dari letusan gunung berapi ini ternyata bisa ngawetin fosil! 🌋
Jadi ya, intinya, kalau manusia purba yang ada di Indonesia nggak cuma berupa fosil, tapi hidup bertetangga sama kita… mungkin ukuran rumah bakal beda-beda, karena ada manusia berbadan raksasa atau kerdil.🏡🏘
Dan, kalau kita foto bareng temen sekelas buat buku tahunan 📸 mungkin akan kelihatan kayak gini:
Yang jelas, mari kita sama-sama berduka buat Homo floresiensis. Soalnya kalo tinggal di dunia saat ini, mungkin gak akan bisa ngerasain serunya naik roller-coaster karena kurang tinggi…
Oke, menurut kalian, bakal gimana hidup kita kalo ada manusia purba lain? Ayo coba pikirin bareng-bareng~
Dan seperti biasa, terima kasih!